MWawasan, Padang (SUMBAR)~ Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) menyelenggarakan Pelatihan Pendidikan Ramah HAM pada Ekosistem Sekolah (Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan Guru Pendidikan Agama Islam).
Ketua Pelaksana Rimelfi, S.Pd.I.,M.M., M.A. melaporkan bahwa kegiatan dilaksanakan di Hotel UNP Kota Padang pada Kamis-Sabtu (23- 25 Mei 2024 yang diikuti oleh 25 peserta perwakilan jenjang SMA/SMK, Keterwakilan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) dan keterwakilan Kantor Dinas Pendidikan dari 4 Provinsi (JawaTengah, Banten, Sumatera Barat dan SumateraUtara) serta 5 daerah di Indonesia (Surakarta, Semarang,Tangerang, Padang dan Medan).
Pelatihan ini bertujuan untuk membangun kesepahaman dan inisiatif pelaksanaan HAM pada ekosistem sekolah dipandu oleh dua fasilitator berpengalaman Moh. Aziz Ropik, S.Ag., M.Pd dan Dra. Anis Farikhatin, M.Pd, ungkap Rimelfi, S.Pd.I.,M.M., M.A.
Kegiatan dibuka oleh. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Drs. H. Barlius, MM yang menyambut baik inisiatif pelatihan Pendidikan Ramah HAM pada Ekosistem Sekolah ini.
Beliau berharap alumni pelatihan dapat meningkatkan literasi ekosistem sekolah yang ramah HAM dan demokratisasi serta menyebarluaskan pengetahuan tersebut kepada sesama guru di lingkungan masing-masing.
A.D Eridani Program Manager for Inequality, Partnership & Membership INFID dalam sambutannya menyampaikan “INFID hadir untuk advokasi kebijakan internasional dan nasional terkait isu pembangunan dan demokratisasi di Indonesia. INFID berfokus pada tiga area kerja yaitu; penurunan ketimpangan, pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan dan hak asasi manusia dan demokrasi.
Advokasi INFID berbasis bukti yang diperoleh melalui riset yang INFID lakukan. “INFID sudah bekerjasama dengan AGPAII sejak 2020 melalui beberapa kegiatan pelatihan baik penguatan Kompetensi Guru Agama Islam, advokasi kebijakan dan yang sedang berjalan tentang Pendidikan Ramah HAM pada ekosistem sekolah”.
Sejalan dengan itu, Endang Zaenal selaku Ketua Umum DPP AGPAII menyatakan bahwa kerjasama antara AGPAII dan INFID sudah terjalin sejak tahun 2020 dikarenakan memiliki nilai dan misi yang sama yaitu untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam dan mengamalkan pancasila. Kolaborasi akan terus berjalan karena tugas Guru Pendidikan Agama Islam tidak hanya bisa mengaji tetapi juga harus selalu belajar bidang lain guna mewujudkan dua ideologi tersebut, yang salah satu elemennya adalah Hak Asasi Manusia terutama implementasinya pada ekosistem sekolah.
Dia wal 2022, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyebutkan tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan/ kekerasan dan intoleransi. Adanya kasus dikarenakan masih banyak warga sekolah yang belum memahami mengenai HAM. Manajemen Pendidik, Tenaga Kependidikan dan Peserta didik banyak yang terperangkap dalam paradigma lingkungan Pendidikan kolonial.
Pelatihan diawali dengan paparan oleh Dr. Manager Nasution, M.H,M.A Komisioner KOMNAS HAM 2014 -2019, yang menyampaikan bahwa HAM adalah pemberian Tuhan, oleh karenanya Islam dan HAM adalah dua unsur yang kompatibel. Islam telah mengatur mengenai HAM melalui Piagam Madinah dan Piagam Arafah, jauh sebelum lahirnya DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Pada konteks pendidikan, terjadi perubahan norma dan kebiasaan dalam memberlakukan aturan terhadap pelajar yakni nir-kekerasan, tujuannya untuk mendorong terciptanya ruang aman di sekolah.
Menguatkan materi sebelumnya, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Imam Bonjol Padang, Dr. Muhammad Kosim, MA., mendorong para guru untuk mengimplementasikan nilai dalam Sekolah Ramah HAM yang nir-kekerasan. Ia menegaskan bahwa nilai tersebut sejalan dengan nilai- nilai dalam Pendidikan Karakter dan Islam Wasathiyah yakni cinta damai dan la-unf (anti kekerasan).
Salah seorang Pembina AGPAII DPW Sumatera Barat ini juga mencontohkan bentuk pelanggaran HAM yang termasuk pada kekerasan terhadap perempuan adalah himbauan untuk penggunaan jilbab bahkan bagi non-muslim dan pelarangan perempuan sebagai ketua OSIS .Mengenai pelajar yang terlibat kenakalan remaja, ia menyampaikan bahwa “tidak ada anak yang bodoh, tidak ada anak yang nakal”. Yang perlu dirubah adalah paradigma, seberapa besar guru mampu menggunakan pendekatan hati dalam mengubah sikap anak.
Pada materi Islam dan Kesetaraan Ummat yang menggunakan perspektif gender, nara sumber Yefri Heriyani sebagai aktivis perempuan yang saat ini aktif sebagai Ombudsman Sumatera Barat menyampaikan bahwa perlunya menghadirkan sekolah tanpa diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Yefri Hariyanti juga mengajak peserta untuk mengidentifikasi perbedaan perempuan dan laki- laki dari kacamata biologis serta peran sosial yang sering dilekatkan terhadap keduanya.
Hal yang perlu digaris bawahi yaitu adanya beban berlapis yang didapatkan oleh perempuan atas ekspektasi masyarakat terhadap peran sosial perempuan. Selain itu, upaya mendisiplinkan pelajar yang anti kekerasan dapat dilakukan dengan adanya proses pembuatan tata tertib yang melibatkan berbagai pihak, utamanya pelajar dari berbagai latar belakang dan wali murid. Aturan tersebut juga harus disosialisasikan secara kontinu kepada semua pihak. Tanpa adanya keterlibatan pelajar dan wali murid dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi ,tata tertib yang dihasilkan akan berpotensi untuk diskriminatif dan tidak akomodatif terhadap seluruh warga sekolah.
#Rilis/Buya
No comments:
Post a Comment