Breaking

Saturday, December 20, 2025

Musibah, Azab dan Cara Kita Membaca Bencana

Musibah, Azab dan Cara Kita Membaca Bencana

Oleh: 
Dr. Misra, MA

Dalam khazanah Islam, istilah “bencana” ternyata tidak sesederhana yang sering kita ucapkan sehari-hari. Al-Qur’an dan Hadis menggunakan beragam istilah untuk menggambarkan peristiwa yang menimpa manusia. Dua yang paling sering disalahpahami adalah musibah dan azab. Buku Fikih Kebencanaan yang ditanfidz Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2015) memberi penjelasan penting agar umat tidak gegabah menilai setiap peristiwa alam sebagai hukuman Tuhan.

Kata musibah berasal dari akar kata aṣāba, yang secara harfiah berarti “sesuatu yang menimpa”. Dalam Al-Qur’an, musibah bersifat netral ia bisa berupa kebaikan maupun keburukan.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya:
“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22)
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya:
“(Kami jelaskan yang demikian itu) agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Al-Hadid: 23)

Segala sesuatu yang menimpa manusia baik menyenangkan maupun menyakitkan disebut musibah. Namun dalam bahasa sehari-hari, musibah sering direduksi hanya sebagai peristiwa tragis dan menyedihkan.

Dua ayat ini menjadi fondasi teologis yang kuat bahwa musibah adalah bagian dari ketetapan Allah, namun tujuan utamanya adalah pendidikan spiritual manusia: agar tidak larut dalam keputusasaan saat kehilangan, dan tidak tenggelam dalam kesombongan saat mendapat nikmat. Ayat ini sangat relevan untuk menolak cara pandang simplistis yang langsung melabeli setiap bencana sebagai azab.

Kebaikan yang menimpa manusia berasal dari Allah, sementara keburukan yang terjadi sering kali merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri. Di sinilah letak kesalahan cara pandang kita. Tidak semua musibah adalah bencana.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۗ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
Artinya:
“Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) kepada seluruh manusia sebagai Rasul. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. An-Nisa: 79)
Ayat ini sering dijadikan dasar bahwa keburukan (termasuk bencana dalam makna sosial) tidak serta-merta disandarkan kepada Allah sebagai “hukuman”, melainkan erat kaitannya dengan ulah dan pilihan manusia sendiri terutama dalam cara mengelola alam, risiko, dan kehidupan sosial. Ayat ini sangat kuat untuk menolak narasi simplistis yang menghakimi korban bencana.

Musibah baru menjadi bencana ketika ia membawa keburukan dan kerusakan yang sejatinya lahir dari ulah manusia baik karena kelalaian, keserakahan, maupun pengabaian risiko. 
وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ يَوْمِ الْأَحْزَابِ
Artinya:
“Dan orang yang beriman itu berkata, ‘Wahai kaumku! Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa seperti hari kehancuran golongan-golongan (yang dahulu). (QS. Ghafir: 30)

Ayat ini adalah peringatan dari seorang mukmin kepada kaumnya agar belajar dari sejarah kehancuran umat-umat terdahulu. Pesan utamanya bukan menghakimi korban, tetapi mengajak manusia bercermin, memperbaiki sikap, dan tidak mengulangi kesalahan kolektif yang berujung pada kehancuran sosial maupun ekologis.

Ketika musibah terasa pahit dan menyakitkan, Al-Qur’an mengajarkan agar manusia mengembalikan maknanya kepada Allah, sembari menyadari bahwa diri kita hanyalah pelaku sekaligus penerima ujian. 
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya:
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. (QS. Al-Baqarah: 156)

Ayat ini menegaskan sikap spiritual yang ideal saat menghadapi musibah: kesadaran diri sebagai hamba, penerimaan atas ketetapan Allah, dan kerendahan hati untuk kembali melakukan introspeksi. Ungkapan istirjā’ bukan tanda pasrah tanpa ikhtiar, tetapi fondasi batin untuk bangkit, memperbaiki diri, dan memperkuat solidaritas kemanusiaan setelah musibah terjadi.

Dalam konteks ini, musibah adalah balā’ ujian hidup. Menariknya, balā’ tidak selalu berupa penderitaan; ia juga bisa hadir dalam bentuk kenikmatan dan kelapangan. 
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya:
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah ayat 155)

Ayat ini menegaskan bahwa ujian hidup adalah keniscayaan, dan ia mencakup dimensi psikologis, ekonomi, sosial, hingga ekologis. Bencana alam dan krisis kemanusiaan termasuk dalam spektrum balā’ (ujian), yang menuntut kesabaran aktif yakni keteguhan iman yang disertai ikhtiar, solidaritas, dan perbaikan tata kelola kehidupan.

Berbeda dengan musibah, istilah azab memiliki nuansa yang lebih keras. Secara bahasa, azab dapat bermakna sesuatu yang menyulitkan atau menyiksa. Bahkan Rasulullah SAW menyebut safar sebagai bagian dari “siksa” karena beratnya tantangan yang dihadapi manusia. Namun ketika azab dikaitkan dengan peristiwa kehidupan, ia bermakna hukuman atau peringatan akibat pelanggaran terhadap ketetapan Allah. 
إِنَّا كَاشِفُوا الْعَذَابِ قَلِيلًا ۚ إِنَّكُمْ عَائِدُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami akan menghilangkan azab itu sedikit saja. Sungguh, kamu akan kembali (ingkar). (QS. Ad-Dukhan: 15)
يَوْمَ نَبْطِشُ الْبَطْشَةَ الْكُبْرَىٰ ۚ إِنَّا مُنتَقِمُونَ
Artinya:
“Pada hari Kami menghantam dengan hantaman yang keras. Sungguh, Kami Maha Pembalas. (QS. Ad-Dukhan: 16)

Dua ayat ini menggambarkan azab sebagai peringatan keras akibat keingkaran yang berulang. Pengangkatan azab sementara tidak selalu menandakan tobat, sebab manusia bisa kembali pada kesalahan lama. Karena itu, pesan utamanya bukan menakut-nakuti, melainkan mengajak perubahan sikap yang berkelanjutan baik dalam keimanan, keadilan sosial, maupun cara manusia memperlakukan alam.

Azab bisa hadir dalam berbagai bentuk: peristiwa alam yang dahsyat seperti gempa, banjir, atau tsunami, maupun peristiwa sosial seperti perang dan krisis kemanusiaan. Semua itu berfungsi sebagai peringatan agar manusia kembali menata relasinya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. 
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَىٰ دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:
“Dan sungguh, Kami akan merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. As-Sajdah: 21)
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا ۚ إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ
Artinya:
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan memberi pembalasan kepada orang-orang yang berdosa. (QS. As-Sajdah: 22)

Ayat ini menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa berat di dunia dapat berfungsi sebagai peringatan dini, bukan semata-mata hukuman final. Tujuan utamanya adalah agar manusia kembali memperbaiki iman, etika sosial, dan relasi dengan alam. Dalam konteks kebencanaan, ayat ini mengingatkan bahwa mengabaikan peringatan (ilahi maupun ilmiah) justru memperbesar risiko kehancuran.

Namun penting digarisbawahi: peristiwa alam itu sendiri bukanlah bencana. Ia menjadi bencana ketika manusia gagal membaca risiko, mengabaikan peringatan, merusak alam, dan hidup tanpa perhitungan. Kesalahan manusia bukan pada terjadinya gempa atau banjir karena itu bagian dari sunnatullah melainkan pada ketidakmampuan mengelola risiko dari peristiwa tersebut.

Maka, alih-alih sibuk melabeli setiap bencana sebagai azab Tuhan, mungkin yang lebih mendesak adalah bercermin: sudahkah kita hidup selaras dengan alam, adil dalam pembangunan, dan bijak dalam mengambil keputusan? Di situlah letak tanggung jawab manusia yang sering kita lupakan. 

Wallahu a’lam bishawab

Catatan: Disadur dari berbagai sumber.

#MR171225

No comments:

Post a Comment

Koran Wawasan Edisi 194, Februari 2023

"Prakiraan Cuaca Senin 14 Oktober 2024"


"KEPUASAN ANDA UTAMA KAMI"




BOFET HARAPAN PERI Jl. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
Selamat Datang diSemoga Anda Puas