"16 Tahun Berlalu: Tangisan dari Lantai Dua Masjid Mukminin Kisah Firdaus Gani dalam Tragedi Gempa Sumbar 30 September 2009”
Oleh:
Firdaus Gani
Kisah:
Enam belas tahun telah berlalu, namun setiap kali tanggal 30 September tiba, hati saya kembali bergetar. Ingatan itu terlalu dalam untuk dilupakan. Tragedi gempa Sumatera Barat tahun 2009, pukul 17.15 WIB, masih jelas membekas di ingatan saya, seakan baru saja terjadi kemarin.
Hari itu, Rabu sore, saya Firdaus Gani kala itu kepala MDT Masjid Mukminin, mengajak para guru rapat pertama setelah liburan Ramadhan dan Idul Fitri.
Para santri saya minta pulang lebih awal, sekitar pukul 17.00. Rapat dijadwalkan dimulai pukul 17.15. Saat semua guru mulai mendekat ke kantor MDTA di lantai dua Masjid Mukminin, bumi tiba-tiba berguncang dahsyat.
Dinding bergetar, atap bergoyang, suara retakan terdengar. Teriakan panik bercampur tangis. Seorang guru nekat melompat dari lantai dua hingga kakinya terkilir, sementara yang lain hanya bisa duduk bersandar sambil terus menyebut asma Allah.
Saya pun terdiam. Bibir saya hanya mampu berucap dalam hati:
"Ya Allah… ini kiamatkah? Ya Allah… Ya Allah…"
Dalam detik-detik mencekam itu, pikiran saya langsung terbang ke rumah. Anak-anak saya masih kecil saat itu: Fadhil Mujahid baru berusia 6 tahun, Fuadi Dhiyaulhaq berumur 3 tahun, dan bayi mungil kami, Faizul Lathif Fajran, baru 6 bulan. Bersama istri, mereka menunggu saya di rumah di Kompleks Griya Madani Blok C No. 5.
Bayangan wajah mereka berkelebat. Bayi 6 bulan dalam pelukan ibu, anak 3 tahun yang belum mengerti apa-apa, anak sulung yang masih belajar membaca, semua mungkin sedang menangis ketakutan. Dalam hati saya berdoa dengan air mata:
"Ya Allah, selamatkan istri dan anak-anakku."
Dari lantai dua masjid, mata saya menyaksikan pemandangan yang memilukan. Kota Padang tampak seperti baru saja dihantam bom. Debu mengepul, bangunan runtuh, asap hitam membubung. Namun rasa takut bertambah karena Masjid Mukminin berjarak hanya beberapa ratus meter dari pantai.
Bayangan tsunami seperti di Aceh tahun 2004 menghantui. Bersama ribuan orang, saya ikut berlari. Motor Shogun 125 saya bawa, meski jalanan macet penuh orang panik. Lampu padam, jaringan telepon terputus, kegelapan menelan Padang. Saya hanya bisa berseru lirih:
"Ya Allah, lindungi keluargaku… jangan pisahkan kami."
Saya sempat menuju arah Unand, namun jalanan tak bisa ditembus. Mendengar kabar tsunami tidak terjadi, saya menjemput keponakan di IAIN IB. Syukurlah ia selamat. Bersamanya, saya terus berjuang menembus jalanan macet menuju Gunung Pangilun, tempat saya berharap keluarga saya masih bernyawa.
Perjalanan dari MDT ke rumah terasa bagai seabad. Tiga jam lamanya hati saya diguncang rasa takut. Bagaimana rumah kami? Apakah istri masih kuat menggendong bayi kami? Apakah anak-anak selamat?
Saat tiba di Griya Madani, suasana mencekam. Gelap gulita. Jalan penuh orang menangis, berteriak, mencari keluarga masing-masing. Dengan dada berdebar, saya memanggil nama istri dan anak-anak. Tidak ada jawaban. Saya panggil lagi, kali ini suara saya bergetar menahan tangis.
Hingga akhirnya, terdengar sahutan lirih, “Papa…”
Saya menoleh. Dari balik kerumunan, istri saya muncul dengan wajah penuh cemas. Fadhil menggenggam erat tangannya, Fuadi menangis ketakutan, dan bayi kecil Faizul menjerit di pelukan. Kami berlari, lalu saling berpelukan erat. Pelukan itu pecah menjadi tangisan panjang.
Mereka pun sempat mengira saya tidak akan pernah kembali. Sebelum berangkat ke MDT, saya sempat berkata akan singgah ke Pasar Raya untuk belanja. Padahal, di sanalah banyak bangunan runtuh dan korban berjatuhan.
Malam itu, di tengah reruntuhan, tangisan, dan kegelapan, saya hanya bisa sujud syukur. Allah masih memberi hidup. Allah masih menjaga keluarga saya. Allah masih memberi kesempatan untuk terus mengajarkan Al-Qur’an.
Kini, 16 tahun setelah gempa itu, setiap kali mengenangnya, hati saya kembali bergetar. Suara gemuruh, jeritan, gelap, tangisan anak-anak saya—semua masih terbayang jelas.
Namun dari tragedi itu pula saya belajar. Hidup ini hanya sebentar. Yang abadi adalah Al-Qur’an. Itulah sebabnya, sejak gempa itu, saya bertekad untuk terus istiqamah bersama Al-Qur’an. Dari MDT Masjid Mukminin hingga kini dipercaya memimpin DPW FKDT Sumatera Barat, semuanya adalah jalan yang Allah bukakan.
Gempa 2009 meninggalkan luka, tapi juga menghadirkan tekad: untuk hidup, berjuang, dan wafat bersama Al-Qur’an.
#Firdaus Gani
No comments:
Post a Comment