MWawasan, Padang (SUMBAR)~ Hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bumi Ranah Minang. Yang jadi sorotan saat ini tertuju pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat.
Lembaga yang dapat di katakan spesialis ini menemukan adanya dugaan praktik koruptif yang mengakar mengenai pengelolaan dana pokok-pokok pikiran (pokir) wakil rakyat di Bumi Ranah Minang.
Temuan ini adalah merupakan tindak lanjuti permintaan resmi KPK kepada Gubernur Sumbar beberapa waktu lalu, terkait tentang daftar alokasi dana pokir seluruh anggota DPRD. Hasil pendalaman, terkuak bahwa hampir seluruh anggota Dewan yang merupakan perwakilan rakyat ini menitipkan bahkan memaksakan agar rekanan atau penyedia jasa tertentu untuk menggarap proyek yang bersumber dari dana pokir mereka.
“Yang tidak ikut ambil andil dalam bermain jumlahnya sangat kecil. Sebagian besar anggota dewan ini mempunyai ‘orang kepercayaan’ dalam mengerjakan proyek,” kata seorang pejabat Pemprov Sumbar yang enggan namanya disebut.
Tekanan Politik dan Sulitnya OPD Menolak
Para Perangkat Organisasi Daerah (OPD) mengaku berada dalam posisi sulit. Mereka kerap menerima intervensi dalam bentuk tekanan secara langsung dari para anggota Dewan agar rekanan titipan bisa diloloskan. Bahkan, terkadang di dukung dengan ancaman secara halus maupun secara terang-terangan yang membuat OPD tak sanggup untuk berkutik di hadapan mereka.
“Kalau tidak diakomodir, konsekuensi politik akan dialami. Karena dapat menimbulkan kesulitan ketika pembahasan anggaran maupun kebijakan lain terjadi,” tutur salah seorang pejabat OPD dengan nada pasrah.
Kondisi ini membuat hubungan kemistri antara legislatif dan eksekutif tak lagi seimbang. Dewan, yang seharusnya menjalankan fungsinya sebagai pengawasan, justru terindikasi menggunakan kewenangan demi kepentingan pribadi maupun kelompok.
Nama-Nama yang Disorot KPK
KPK sudah mengantongi nama-nama anggota DPRD Sumbar yang paling ngotot dalam memaksakan rekanan bawaannya di fasilitasi oleh OPD terkait. Beberapa di antaranya berinisial MYA, STA, NZN, LD, MS, NST, dan MLS.
Berdasarkan dari hasil penyelidikan, para anggota dewan ini diduga menerima fee atau komisi dari pihak rekanan dengan kisaran 10 sampai 20 persen dari setiap nilai kegiatan. Pola ini diyakini sudah berlangsung lama, bahkan menjadi semacam “Tradisi” dalam setiap pengelolaan dana pokir.
Sistem fee yang dibangun ini dapat termasuk dalam kategori gratifikasi dan jelas berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. “Aliran dana yang diterima secara pribadi, bukan hanya sekadar dugaan, tapi sudah terkonfirmasi dari berbagai pihak,” kata sumber internal di KPK.
Sikap Tegas KPK
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan lembaganya akan bergerak cepat. Ia menyatakan tak ada ruang kompromi bagi siapapun yang terlibat dalam praktik korupsi, baik di pusat maupun daerah.
“KPK tidak akan lelah menindak setiap bentuk praktik korupsi. Tak boleh ada yang lolos. Korupsi benar-benar telah merusak bangsa ini,” ujarnya.
Senada, Ketua KPK Setyo Budiyanto menambahkan bahwa praktik korupsi terbukti menjadi penghambat utama dalam pembangunan dan kemajuan daerah. Ia menilai, selain penindakan hukum, Indonesia mendesak membutuhkan instrumen baru, yakni UU Perampasan Aset, agar kerugian negara dapat dikurangi.
“Korupsi tidak hanya terjadi di lembaga pusat saja, tapi telah merambah dalam setiap lini dan termasuk DPRD Provinsi maupun kabupaten/kota. Tanpa langkah serius, kondisi ini akan terus berulang,” tegas Setyo.
Suara Publik: “Fee Itu Rahasia Umum”
Salah satu tokoh masyarakat Sumbar yang meminta identitasnya dirahasiakan menyatakan bahwa praktik pungutan fee atas dana pokir memang sudah lama jadi rahasia umum. Besaran 10–20 persen, katanya, sudah menjadi angka yang telah “disepakati” tanpa tertulis.
“Kalau KPK bicara, itu artinya memang ada bukti kuat
Siapapun yang terlibat harus siap menanggung resiko hukum. Tapi kami masyarakat biasa sering tak berdaya. Kritik yang disampaikan malah dianggap tendensius, seolah kami mengada-ada atau cemburu sosial,” ucapnya dengan nada kecewa.
Dana Pokir: Dari Aspirasi Rakyat Jadi Bancakan Elite
Dana pokok-pokok pikiran seharusnya ditujukan agar dapat menyalurkan aspirasi terhadap masyarakat yang dihimpun anggota dewan dari daerah pemilihannya. Idealnya, dana tersebut seharusnya diarahkan untuk pembangunan infrastruktur kecil, pemberdayaan masyarakat, hingga peningkatan kualitas layanan publik.
Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda. Alih-alih berpihak pada rakyat, dana pokir justru kerap dijadikan “Tambahan Finansial” bagi kepentingan pribadi. Proyek-proyeknya akan terjadi rawan dan dapat dikendalikan, kualitas pekerjaan dipertanyakan, dan dampaknya minim serta beresiko bagi masyarakat karena mutu kualitas akan berkurang.
Ancaman Bagi Integritas Politik Daerah
Praktek ini bukan hanya sekadar soal aliran fee. Lebih dari itu, ia mencerminkan krisis integritas dalam politik lokal. Anggota Dewan yang seharusnya mengawasi pemerintah justru ikut bermain dalam proyek. Kondisi ini telah menciptakan lingkaran setan: rakyat dirugikan, pembangunan tersendat, dan kepercayaan publik pada lembaga demokrasi makin menurun.
Kini, publik menunggu langkah konkret KPK.
Apakah nama-nama yang telah dikantongi hanya akan berhenti pada “inisial” saja atau benar-benar ditindak lanjuti hingga ke meja hijau?
Satu hal pasti, mata masyarakat Sumatera Barat tengah menatap dengan tajam. Mereka ingin bukti nyata bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
#KmK
No comments:
Post a Comment