TEORI TENTANG JAMINAN PADA PEMBIAYAAN,
AKAD WAKALAH DAN MANAJEMEN RESIKO PADA LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH
Oleh:
Panji Marboro
dan
Fauzul
Masyhudi, M.Ag
Dosen Ekonomi Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang
Abstrak
Tulisan
ini membahas teori tentang jaminan pada pembiayaan dikaitkan dengan akad
wakalah dan juga manajemen resiko pada lembaga keuangan syariah. Adapun lembaga
pembiayaan syari’ah yang berupa shahibul maal mendapatkan kepercayaan
dari semua orang untuk melaksanakan amanah untuk menggunakan dana dengan cara
yang adil, benar serta harus diikuti oleh ikatan dan syarat yang benar sehingga
mampu untuk menguntungkan semua yang bersangkutan. Bank syariah/ bank islam
sebagai salah satu lembaga pembiayaan syariah, harus mempunyai pedoman kepada
ketentuan Islam, begitu juga untuk melaksanakan kegiatan ekonomi, bank
syariah/islam harus senantiasa memperhatikan perolehan keuntungan, sehingga
baik bagi bank dan juga nasabah.
Kata
kunci: Pembiayaan syariah,
Konsep Syariah, Perbankkan syariah.
PENDAHULUAN
Dalam sebuah Negara,perbankkan adalah salah
satu pusat pembangunan dalam sektor ekonomi (agent of development), dikarenakan
perbankkan berfungsi sebagai pengumpul uang dari semua orang atau lembagabaik berupa
simpanan maupun berupa pembiayaan
yang kemudian didistribusikan kembali kepada
lembaga atau perseorangan berupa
pembiayaan. Melihat dari fungsi perbankkan tersebut maka bisa dikatakan bahwa
bank menjadi salah satu sector yang lazim mengembangkan ekonomi didalam suatu
Negara. ( financial intermediary function).[1]
Bank
syariah relatif baru keberadaannya di Indonesia, namun perkembangannya darti
tahun ke tahun sangat signifikan dan memberikan sumbangan pemasaran yang besar
kepada perbankan Indonesia. Hal ini tentunya harus selalu dikembangkan ditambah
lagi jika mayoritas dari rakyat Indonesia adalah mayoritas muslim sehingga memiliki
potensi untuk terus meningkatkan pemasaran.[2]
Dalam
perkembangan perbankkan di Indonesia tentu mempunyai beberapa faktor yang
menjadi pendorong dalam hal mendukung perkembangan dunia perbankkan di
Indonesia, adapun salah satu faktor pendorong berkembanganya perbankkan syariah
di Indoensia menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia bapak Halim Alasmsyah,
beliau menatakan bahwa pendorong perkembangan perbankkan di Indonesia yaitu adanya produk Undang-undang
yang akan memberikan perlindungan hukum dalam mengembangkan seluruh kegiatan
pasar uang syariah seperti Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankkan
syariah, Undang-undang Nomor 19 tahun 2008 tentang SBSN atau Sukuk, dan juga
Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 tentang amandemen ketiha Undang-undang no 8
tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa. Dengan lahirnya Undang-undang tentang
perbankkan syariah tersebut maka lebih meningkatkan perekonomian islam dalam
waktu kurang 2 tahun yaitu tahun 2009 dan 2010.[3]
Selama
ditetapkan adanya bank konvensional di Indonesia, dirasa tidak memberikan
kontribusi yang baik untuk perekonomian rakyat. Hal ini bisa kita perhatikan
ketika Indonesia sedang dilanda krisis moneter yang ketika itu proses untuk
memulihkan ekonomi di diri Indonesia terlalu lama. Hal ini diakibatkan oleh
belum bergeraknya sektor-sektor kecil yang didapatkan dari kredit murah seperti
yang diterapkan oleh bank-bank syari’ah. Maka merujuk hal tersebut, nampaklah
jika keberaadaan bank syari’ah sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia,
bahkan juga untuk dunia.[4]
Bank
syari’ah didirikan untuk mengatasi persoalan penting yang merugikan banyak
orang, yaitu persoalan bunga. Bagi umat muslim tentunya bunga merupakan hal
yang melanggar syari’at karena jatuh kepada hal riba. Maka dari itu salah satu tugas
dari bank syari’ah untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat oleh bank
konvensional selama ini yang ada di Indonesia yang mayoritas muslim, karena hal
ini masuk kepada kategori haram. Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS.
Ali Imran ayat 130 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا
لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ ١٣٠
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda118) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.”
Perbankkan syariah di Indonesia termasuk relative baru
karena pertumbuhan bank syariah tidak segencar pertumbuhan bank konvensional,
tetapi dari segi pertumbuhannya dari tahun ke tahun perbannkan syariah mengaalami
penaikkan yang sangat drastis, baik dari segi jumlah maupun dari segi
pemasukkannya, sehingga perbankkan syariah cukup berkembang pesat di Indonesia.
Melihat hal ini para pembisnis melihat adanya peluang yang sangat besar untuk
mengembangkan hartanya dalam prinsip syariah, karna di Indonesia merupakan umat yang mayoritas
beragama islam.[5]
Dari sinilah penulis akan mengkaji lebih jauh tentang pembiyaan ini di bank syariah
lalu penulis akan mengaitkan dengan urgensi masuknya akad wakalah dalam system
pembiayaan dan penulis akan membahas juga tentang manajemen resiko yang akan
terjadi di perbannkan syariah.
METODE
PENELITIAN
Penulis menggunakan dalam penelitian ini menggunaka pendekatan yuridis
normatif. Yang dikatakan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan
yuridis adalah pendekatan yang mengacu kepada produk hukum dan peraturan
perundangan yang berlaku, selain itu ada metode penelitian dengan pendekatan
normative, yang dikatakan dengan pendekatan normativ adalah penelitian yang
digunakan terhadapdata sekunder dalam masalah hukum, yang termasuk dalam data
sekunder adalah data primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
sehingga untuk melakukan analisis data yang akan dipaparkan tersebut maka tidak
bisa dilepaskan dari semua beragam penafsiran dalam ilmu hukum. Penulis
melakukan spesikasi dalam menganalisis data tersebut, yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif analitis. Yang dimaksud dengan metode
deskriptif adalah prosedur dalam pemecahan masalah yang akan diteliti dengan
menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat menganalisis data-data yang
ditemukan. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam tulisan ini
adalah metode studi kepustakaan dan studi documenter. Dari data-data tersebut
maka untuk mengambil sebuah kesimpulan dari analisis yang telah penulis
kumpulkan kemudian dijabarkan melalui metode penilitian analisis normative
kualitatif atau lapangan.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pengertian
Pembiayaan
Dalam
sistem perbankkan di Indonesia, selain mengenal istilah hutang piutang maka juga
sering dikenal dengan istilah pembiayaan atau angsurang, baik itu didalam
perbankkan syariah maupun [erbankkan konvensional. Hutang piutang digunakan
dalam masyarakat untuk konteks pemberian pinjaman untuk pembiayaan kepada
nasabah, seperti jika seseorang telah meminjamkan hartanya kepada orang lain
maka itu bisa dikatan orang tersebut telah memberikan hutang piutang kepada
orang tersebut. pada dunia perbankkan maka kebanyakan masyarakat tidak
menggunakan istilah hutang piutang tetapi mereka menggunakan istilah kredit
atau pembiayaan, sehingga dari segi pemaknaannya hutang biasanya dikenal dalam
bank konvensional sedangkan pembiayaan dikenal dalam sistem perbankkan syariah.[6]
Pembiayaan
ialahpenyaluran dana yang dikasihkandari pihak bank kepada orang atau lembaga dalam mengembangkan usaha
yang sedang dikembangkan tersebut, baik itu usaha mikro maupun usaha makro. Bak
bertindak menyediakan dana tersebut lalu diberikan kepada yang membutuhkan dana
dalam bentuk pembiayaan.[7]
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 disana dijelaskan bahwa
yang dikatak dengan pembiayaan adalah menyediakan dana dan tagihan yang bisa
dipersamakan akan hal itu, tentu berdasarkan kepada persetujuaan antara pihak
yang berakad dengan bank, dengan cara pihak tersebut menyerahkan kembali dana
yang telah diberikan oleh pihak bank dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[8]Untuk tagihan atau pembiayaan pada
bank syariah dilaksanakan denga berdasarkan kepada prinsip-prinsip syariah.[9]
Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
dijelaskan pada pasal 1 ayat 12 bahwasanya yang dikatakan dengan prinsip
syariah ialah prinsip yang berdasarkan kepada hukum islam dalam kegiatan di
perbankkandan juga berdasarkan kepada fatwa yang telah dikeluarkan oleh lembaga
yang berwenang membuat fatwa tersebut. selain dari prinsip syariah tersebut,
perbankkan dan juag lembaga keuangan syariah juga harus berasaskan kepada asas
demokrasi ekonomi dan juga berasaskan kepada prinsip kehati-hatian dalam
menjalankan peran sebagai lembaga yang mengatur dalam pengelolaan dan
pendistribusian dana.[10]Berdasarkan pengertian pembiayaan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendistribusian dana yang dikumpulkan
oleh perbankkan dan juga lembaga keunagan syariah lainnya harus dilaksanakan
berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan syariah.
Istilah
pembiayaan pada intinya berarti saya percaya, saya menaruh kepercayaan. Kata
pembiayaan dalam kontek diatas yaitu menaruh kepercayaan baik dari pihak
perbankkan maupun nasabah dengan cara melaksanakan sistem amanah dalam bentuk
pembiaayaan, dimana perbankkan menyediakan pembiayaan berupa dana untuk nasabah
dan nasabah mengansur atau melunasi dana yang telah diberikan oleh pihak
perbankkan tersebut.[11]
Jenis-Jenis Pembiayaan
Perbankkan
merupakan salah satu lembaga keuangan yang bertugas untuk mengumpulkan dan
menyalurkan dana dari masyarakat untuk masyarakat, badan usaha swasta maupun
badan usaha milik Negara. Selain itu perbankkan juga menjadi tempat untuk
masyarakat maupun bada usaha untuk menyimpan dana yang dimlikinya, serta
perbankkan juga melayani kebutuhan masyarakat dalam segi pembiayaan dan untuk
meningkatkan mekanisme sistem perekonomian yang ada di Indonesia.[12]
Didalam
perbankkan ada beberapa jenis pembiayaan yang dapat dikelompokkan berdasarkan
aspeknya, yaitu:
1. Pembiayaan menurut tujuanya dalam perbankkan syariah
dibedakan menjadi beberapa ketentuan, diantaranya adalah:
a. Pembiayaan modal kerja dalam rangka untuk mengembangkan
usaha yang sedang dilakukan.
b. Pembiayaan investasi untuk melakukan investasi untuk
pengadaan barang-barang konsumtif
2. Pembiayaan menurut jangka waktu dibedakan kepada
beberapa kelompok, diantaranya adalah:
a. Pembiayaan jangka waktu relative pendek yang dilakukan
dalam waktu yang singkat, jaraknya antara 1 bulan sampai dengan 1 tahun.
b. Pembiayaan jangka waktu menengah yang dilakukan dalam
jangka waktu 1 tahun sampai dengan 5 tahun
c. Pembiayaan jangka waktu panjang. Pembiayaan ini
membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun dengan modal yang sangat besar.[13]
Selain dari jenis-jenis
pembiayaan diatas, pembiayaan pada perbankkan syariah juga dapat diwujudkan
dalam bentuk aktiva produktif dan juga aktiva non produktif, adapun jenis
pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pembaiayaan dalam bentuk aktiva yang produktif, yaitu:
a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dalam pembiayaan
ini ada beberapa bentuk pembiayaan yaitu: pertama, pembiayaan dengan akad
mudharabah yang mana akad mudharabah merupakan akad antara dua orang atau
lebig, satu sebagai shahibul maal dan satu lagi sebagai mudharib melakukan
akad untuk menjalankan sebuah usaha, dimana seseorang memberikan modal berupa
uang dan yang satu lagi menyediakan tenaga untuk bekerja dan mengolah dana
tersebut dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.[14]
Kedua adalahpembiayaan dengan akad musyarakah, yang mana akad musyarakah adalah
akad antara dua orang atau lebih dimana orang yang ber akad sama-sama
mengeluarkan modal dan sama-sama bekerja dan hasil keuntungannya di bagi sesuai
dengan kesepakatan.[15]
b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli. Prinsip jual
belidilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahankepemilikan barang atau
benda (transfer of property). Tingkatkeuntungan bank ditentukan di depan
dan menjadi bagianatas barang yang dijual.
c. Pembiayaan dengan prinsip sewa dalam akad ijrah atau
sewa menyewa yang dilandasi dengan pemindahan manfaat.
2. Pembiayaan dalam bentuk aktiva non produktif yaitu
berkaitan dengan aktiva pembayaran yang berbentuk pinjaman, yaitu pinjaman qard
atau hutang piutang. Pembiayaan dalam non aktiva ini adalah penyediaan dana
atau tagihan antara bank islam dengan peminjam yang mengharuskan pihak peminjam
untuk melakukan pembayaran sekaligus atau secara angsuran dalam jangka waktu
yang telah ditentukan.[16]
Pembiayaan
Murabahah Dalam Akad Wakalah
Dalam
sitem perbankkan, istilah pembiayaan selalu berkaitan dengan pembiayaan murabahah
yang dijelaskan dalamUndang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa murabahah tertuang dalam Pasal 19 ayat (1)
huruf d yang mana didalam pasal tersebut dijelaskan bahwa akad murabahah merupakan
akad pembiayaan pada suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
mustyari dan membayarkannya dengan harga yang lebih dari harga yang dibelinya
untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.[17]
Pembiayan
pada perbannkan syariah dibedakan menjadi dua jenis yaitu: satu. pembiayaan
murabahah tanpa pesanan, yaitu jual beli yang dilakukan bai ada musytari atau
tidak ada pembeli yang memesan barang tersebut. Maka sebagai lembaga
perbankkan, bank bertanggung jawab menyediakan barang tersebut untuk nasabah.
Yang kedua pembiayaan murabahah berdasarkan pesanan, yaitu seseorang
nasabah memesan barang tersebut kepada perbankkan lalu perbankkan membelikan
barang tersebut untuk nasabah, lalu setelah barang itu ada maka nasabah akan
membeli barang tersebut kepada perbankkan, mereka melakukan negosiasi den
melakukan kesepakatan atas barang yang akan di jual belikan. Dalam jual beli
pesanan atau tidak pesanan nasabah boleh melakukan pembayarannya lewat cash
atau credit tentu dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Nah
pada produk perbankkan pembiayaan yang paling sering digunakan adalah pembiayaan
murabahah dengan melakukan pembayaran secara kredit atau tagihan dalam rentang
waktu yang telah disepakati.[18]
Perbankkan
syariah menyediakan pembiayaan murabahah yang mana pembiayaan murabahah dalam
perbankkan syariah dapat dilakukan melalui angsuran atau cicilan dengan jangka
waktu yang telah disepakati. Dalam hal ini penulis mengambil kesimpulan bahwa
dalam melaksanakan akad murabahah dalam perbankkan syariah, maka seorang
nasabah datang kepada perbankkan lalu meminta perbankkan untuk membiayai baik
itu dalam pembelian maupun untuk memperbaiki rumah yang sudah rusak yang
pembayarannya dilakukan dengan cara mengansur kepada pihak perbankkan dalam
waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini seorang nasabah tadi memerlukan dana
untuk membeli rumah atau membutuhkan dana untuk memperbaiki rumah tersebut.
Maka dalam ini hal ini pihak perbankkan menjual rumah atau bahan yang
dibutuhkan kepada nasabah tadi yang berupa barang dengan menambahkan harga pada
barang tersebut untuk mendapatkan keuntungan.[19]
Perkembangan
sistem perbankkan selalu diikuti dengan perubahan pada sistem produk pembiayaan
murbahah dan juga pada prakteknya. Pada produk pembiayaan murabahah hari ini
tidak hanya mengunakan akad murabahah didalamnya tetapi juga menyertakan akad
wakalah. Kombinasi antara akad murabahah dan akad wakalah yang dilakukan oleh
pihak bank syariah menunjukkan adannya kejanggalan dalam akad pembiayaan
tersebut. Menurut Fatwa DSN-MUI No 10 tahun 2000 tentang wakalah, disana
dijelaskan bahwa wakalah adalah pemberian wewenang dan kuasa oleh penjual kepada
nasabahuntuk membeli barang yang diinginkannya sedangan perbankkan Cuma
memberikaan uang kepada nasabah tersebut.[20]penjual
(musytari) seringkali tidak mempunyai barang yang diinginkan oleh pembeli dan
juga penjual juga tidak memesan barang kebutuhan pembeli ke tokoh atau
supplier, penjual justru melimpahkan wewenang dia untuk membeli kebutuhannya
kepada pembeli yang mengunakan akad wakalah didalamnya. Dalam hal ini perbankkan
cuma menyediakan uang untuk membeli barang kemudian nasabahlah yang akan pergi
ke took atau supplier tersebut untuk membeli barang sesuai dengan kebutuhan
yang dia butuhkan.
Ulyana
Masykurin mengatakan bahwa ulama fiqih muamalah sepakat mengatakan bahwa dalam
pembiayaan yang dilakukan oleh pihak perbankkan kepada nasabah kurang tepat
menggunakan akad wakalah didalamnya, karena dalam pembiayaan akad wakalah
kurang tepat diaplikasikan dalam akad murabahah, karena para ulama tersebut
memberikan alasan, kalau akad wakalah disertakan dalam akad pembiayaan
murabahah maka akan menghilangkan fungsi dari murabahah tersebut yaitu sebagai
penyedia barang kepada nasabah yang membutuhkan, hal ini dilakukan yaitu dengan
memesankan barang kepada supplier yang dibutuhkan oleh nasalah, kemudaia barang
tersebut dijual kembali kepada nasabah dengan margin keuntungan sesuai dengan
kesepakatan.[21]
Selain
pendapat ulayana diatas Dimyauddin Djuwaini juga mengkritisin akad wakalah yang
ada di akad pembiayaan murabahah, beliau mengatakan bahwa akad murabahah pada
perbankkan tidak bertindak sebagai pemberi pinjaman, dengan kata lain bak tidak
memberikan pinjaman uang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibuthkan,
akan tetapi disini perbankkan memliki kewajiban untuk menyediakan barang yang
dibutuhkan oleh nasabah dari pihak supplier dan kemudian dijual kembali kepada
nasabah dengan harga jual yang dtambah untuk mendapatkan keuntungan sesuai
dengan kesepakatan.[22]
Praktek
murabahah seperti itu tentunyaakan menimbulkan keraguan dalam mengenal
status kepemilikan terhadap barang oleh pilihan perbankkan, Apabila pihak
perbankkan terus mengggunakan akad wakalah dalam transaksi akad murabahah maka
penjual dianggap tidak memilki barang yang dibelinya tersebut dalam hal itu
penjual memberikan penyimpangan akan kewajibannya yaitu untuk menyediakan
barang tersebut untuk nasabah. Pernyataan tersebut justru menyimpang dari
konsep pembiayaan murabahah yang sesungguhnya, dimana pihak perbankkan
mempunyai kewajiban untuk menyediakan barang tersebut untuk nasabah.Pada
dasarnya dalam akad pembiayaan murabahah harus mempunyai kejelasan dari status
barang kepemilikaan dan itu sangat penting karena pada dasarnya akad murabahah
itu sama dengan akad jual beli, dimana ada penjual yang menyediakan barang dan
juga ada pembeli untuk membeli atau memesan barang tersebut, jadi dalam konsep
ini hak kepemilikan harus jelas dan transparan, perbankkan yang menyediakan barang tersebutharus
menyerahkan kepada pihak nasabah dalam bentuk barang bukan uang. Kalau masih
menggunakan akad wakalah dalam sistem pembiayaan murabahah maka akan
menghilangkan subtansi dari akad murabahah tersebut.[23]
oleh sebab itu penulis melalui artikel ini mengatakan bahwa akad murabahah atau
pembiayaan murabahah pada sistem perbankkan syariah tidak boleh menyandingkan
atau menggabungkannya dengan akad wakalah, karan itu akan menghilangkan konsep
akad murabahah itu sendiri dan lepemilikannya nanti tidak jelas.
Manajemen Resiko Pada Lembaga Keuangan Syariah
Dalam suatu pembiayaan, manajemen resiko merupakan
upaya yang dilakukan oleh pihak perbankan untuk melakukan kegiatan memberikan fasilitas baik itu menyalurkan dana
maupun mengumpulkan dana masyarakat. Dalam memanajemen resiko tersebut
perbankkan akan memberikan fasilitas kepada masyarakat atau nasabah yang
mengalami kendala dalam pembayaran atau mengalami kesulitan dalam membayar
kewajibannya kepada pihak perbankkan, dengan kata lain nasabah masih mampu
melunasi kewajibannya terhadap perbankkan tetapi mengalami kendala maka pihak
perbankkan akan memberikan Fasilitas berupa peringanan atau penangguhan kepada
nasabah supaya nasabah bisa melunasi kewajibannya terhadap bank.[24]
Adapun
penyebab utama terajdinya resiko tersebut terhadap pembiayaan dikarenakan bank
sangat mudah dalam melakukan kegiatan investasi dan pinjaman kepada nasabah.Karena
perbankkan selalu menuntut untuk memnafaatkan kelebihan atau keuntungan dari
pinjaman nasabah, sehingga pinjaman tersebut kurang cermat sehingga sulit untuk
mengatisipasi berbagai kemungkinan resiko terhadap pinjaman yang diberikan.[25]
Dalam
mengatasi resiko tersebut bank dapat melakukan upaya untuk memanajemen resiko
tersebut, diantaranya adalah:
1.
Penjadwalan
kembali (rescheduling).
Rescheduling yaitu
perubahan tanggal pembayaran kewajiban nasabah dan atau jangka waktu (tenor)
pembayaran. Khusus rescheduling nasabah pembiayaan dengan akad
murobahah, menurut ketentuan Fatwa DSN MUI No. 48 tahun 2005 tentang
Penjadwalan Kembali Tagihan Murobahah, dijelaskan bahwa bank syariah atau
lembaga keuangan syariah boleh melakukan rescheduling hutang terhadap
nasabah yang tidak bisa melakukan pelunasan atau nasabah tidak bisa melakukan
penyelesaian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dengan catatan:
a.
Jumlah
hutang yang tinggal tidak ditambah
b.
Pembebanan
biaya dalamrescheduling adalah biaya riil
c.
Perpanjangan
waktu pembayaran harus disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad.[26]
2.
Persyaratan
kembali (reconditioning).
Reconditioning yaitu usaha yang dilakukan dengan cara mengganti akad dalam
pembiayaan murabahahyang tidak dibatasi oleh berubahnya jadwal pembayaran,
begitu juga denganjangka waktu dan jumlah angsuran, perihalgrace period pokok/margin,
pemberian potongan (diskon) margin, sepanjang tidak menyangkut penambahan
maksimum plafon pembiayaan. Penerapan reconditioning untuk nasabah
dengan akad murobahah mengacu kepada Fatwa DSN_MUI No 49 Tahun 2006 tentang
Konverssi akad Murobahah, bank syariah atau lembaga keuangan syariah boleh
melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak mampu
menyelesaikan atau melunasi pembiayaan murobahahnya sesuai jumlah dan waktu
yang telah disepakati, tetapi masih memiliki prospektif.[27]
3.
Penataan
kembali (restructuring).
Restructuring yaitu
melakukan penataan kembali terhadap semua persyaratan pembiayaan dalam
penambahan fasilitas pembiayaan, seluruh tunggakan angsuran atau sebagian dari
tunggakan angsuran menjadi pokok angsuran baru yang disertai denganrescheduling,
pemberian potongan atau diskon margin dan atau reconditioning.
Tindakan
restrukturisasi pembiayaan tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa penilaian
terhadap nasabah yang bersangkutan. Restrukturisasi pembiayaan dilakukan atas
dasar penilaian secara tertulis dan obyektif terhadap kondisi nasabah.
Penilaian kondisi nasabah dituangkan dalam kertas kerja call report yang
meliputi analisis mengenai komitmen dan kemampuan nasabah dalam menyelesaikan
kewajiban kepada bank. Komitmen dan kemampuan nasabah bisa tercermin dari
karakter, prospek usaha dan kondisi keuangan dengan penekanan pada proyeksi
arus kas (cash flow).[28]
Penjelasan
diatas dapat menggambarkan bahwa ada beberapa cara untuk melakukan manajemen
resiko yang ada pada lembaga keuangan syariah, mulai dari penjadwalan kembali,
persyaratan kembali atau membuat akad yang baru dan yang terakhir melakukan
penataan kembali antara pihak nasabah dengan pihak bank. Setelah cara itu
dilakukan semua tetapi dalam pembiayaan nasabah masih belum bisa melunasi pembiayaan
maka ada cara lain, diantaranya melelang atau menjual barang jaminan atau
menyelesaikan dengan jalur ligitasi atau nono ligitasi sesai dengan aturan yang
berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori. “Kapita Selekta Perbankan
Syari’ah Di Indonesia,” 3. Yogyakarta: UII Press, 2008.
Adiwarman A. Karim. “Bank Islam,” 106. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008.
Ammirudin K. “Perbankan Syariah Dalam Perspektif
Hukum. Jurnal Al Risalah.” Al-Risalah, 2011, 11.
Burhanuddin H. “Kedudukan Fungsi Dan Problematika
Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah.” Yusticia,
no. No. 69 (2006).
Djuwaini D. “Pengantar Fiqh Muamalah,” 23.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
“Fatwa DSN MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 Tentang
Penjadwalan Kembali Tagihan Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional (DSN)
MUI, 2014.,” n.d.
“Fatwa DSN MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang
Konversi Akad Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional, 2014.,” n.d.
“Fatwa DSN-MUI 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah,”
2000.
Halim Alamsyah. “Perkembangan Dan Prospek Perbankan
Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA,” 2015.
Ismail. “Perbankan Syariah,” 105–6. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2011.
Karnaen Perwaatmadja. “Apa Dan Bagaimana Bank
Islam,” 23. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992.
Kasmir. “Manajemen Perbankan,” 73. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, n.d.
Khan, dkk. “Risk Management: An Analysis of Issues
in Islamic Financial Industry.” Jeddah : Islamic Development Bank (IRTI)
No. 5, no. Occasional Paper (2001): 3.
Masykurin U. “Masykurin, U. (2012). Murabahah:
Antara Teori Dan Praktik.” Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, n.d.
Muhammad. “Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,” 17.
Yogyakarta: UPP AMP YPKN, 2005.
Nezammudin. “Risk Management And Challange In
Islamic Banking” Dalam Journal Of Islamic Economic, Banking And Finance.,”
2014.
Nurnasrina, dkk. “Manajemen Pembiayan Bank Syariah.
Pekanbaru.,” 173–74. Pekanbaru: Cahaya Firdaus Publishing and Printing, 2018.
Rahadi Kristiyanto. “Jurnal Law Reform” Vol. 5, no.
No. 1 (April 2010).
Rahmat Ilyas. “Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan
SYari’ah.” Jurnal Penelitian Vol. 9, no. No. 1 (February 2015): 3.
“Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Tentang
Pembiayaan,” n.d.
“UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,”
n.d.
Veithzal Rivai. “Islamic Financial Management,” 3.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Yuniarlin, dkk. “Yuniarlin Hukum Jaminan Dalam
Praktek Perbankan Syariah. Yogyakarta: LAB FH UMY.” Yogyakarta: LAB FH UMY,
n.d.
Zainul Arifin. “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah,”
19. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.
[1]Abdul Ghofur Anshori, “Kapita Selekta Perbankan Syariah Di
Indonesia” (Yogyakarta: UII Press, 2008), 3.
[2]Rahadi Kristiyanto, “Jurnal Law Reform” Vol. 5, no. No. 1 (April
2010).
[3]Halim Alamsyah, “Perkembangan Dan Prospek Perbankan Syariah
Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA,” 2015.
[4]Ammirudin K., “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Al
Risalah,” Al-Risalah, 2011, 11.
[5]Rahadi Kristiyanto, “Jurnal Law Reform.”
[6]Kasmir, “Manajemen Perbankan” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
n.d.), 73.
[7]Muhammad, “Manajemen Pembiayaan Bank Syariah” (Yogyakarta: UPP AMP
YPKN, 2005), 17.
[8]“Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Tentang Pembiayaan,”
n.d.
[9]Ismail, “Perbankan Syariah” (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2011), 105–6.
[10]“UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,” n.d.
[11]Veithzal Rivai, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), 3.
[12]Abdul Ghofur Anshori, “Kapita Selekta Perbankan Syari’ah Di Indonesia.”, 5
[13]Veithzal Rivai, “Islamic Financial Management.”, 686
[14]Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah” (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2006), 19.
[15]Karnaen Perwaatmadja, “Apa Dan Bagaimana Bank Islam” (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1992), 23.
[16]Adiwarman A. Karim, “Bank Islam” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008), 106.
[17]Burhanuddin H., “Kedudukan Fungsi Dan Problematika Jaminan Dalam
Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah,” Yusticia, no.
No. 69 (2006).
[18]Yuniarlin, dkk, “Yuniarlin Hukum Jaminan Dalam Praktek Perbankan
Syariah. Yogyakarta: LAB FH UMY” (Yogyakarta: LAB FH UMY, n.d.).
[19]Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan SYari’ah,” Jurnal
Penelitian Vol. 9, no. No. 1 (February 2015): 3.
[20]“Fatwa DSN-MUI 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah,” 2000.
[21]Masykurin U., “Masykurin, U. (2012). Murabahah: Antara Teori Dan
Praktik” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, n.d.).
[22]Djuwaini D., “Pengantar Fiqh Muamalah” (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 23.
[23]Nezammudin, “Risk Management And Challange In Islamic Banking”
Dalam Journal Of Islamic Economic, Banking And Finance.,” 2014.
[24]Khan, dkk, “Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic
Financial Industry,” Jeddah : Islamic Development Bank (IRTI) No. 5, no.
Occasional Paper (2001): 3.
[25]Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah.”, 263
[26]“Fatwa DSN MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penjadwalan Kembali
Tagihan Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, 2014.,” n.d.
[27]“Fatwa DSN MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad
Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional, 2014.,” n.d.
[28]Nurnasrina, dkk, “Manajemen Pembiayan Bank Syariah. Pekanbaru.”
(Pekanbaru: Cahaya Firdaus Publishing and Printing, 2018), 173–74.
No comments:
Post a Comment