Breaking

Monday, July 8, 2024

Teori Tentang Jaminan pada Pembiayaan, Akad Wakalah dan Manajemen Resiko pada Lembaga Keuangan Syariah

Fauzul Masyhudi


TEORI TENTANG JAMINAN PADA PEMBIAYAAN, AKAD WAKALAH DAN  MANAJEMEN RESIKO PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Oleh: 

Panji Marboro

   Panjimarboro32@gmail.com

                                                                               dan

Fauzul Masyhudi, M.Ag

Dosen Ekonomi Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang

fauzulmasyhudi@uinib.ac.id

 

 

Abstrak

Tulisan ini membahas teori tentang jaminan pada pembiayaan dikaitkan dengan akad wakalah dan juga manajemen resiko pada lembaga keuangan syariah. Adapun lembaga pembiayaan syari’ah yang berupa shahibul maal mendapatkan kepercayaan dari semua orang untuk melaksanakan amanah untuk menggunakan dana dengan cara yang adil, benar serta harus diikuti oleh ikatan dan syarat yang benar sehingga mampu untuk menguntungkan semua yang bersangkutan. Bank syariah/ bank islam sebagai salah satu lembaga pembiayaan syariah, harus mempunyai pedoman kepada ketentuan Islam, begitu juga untuk melaksanakan kegiatan ekonomi, bank syariah/islam harus senantiasa memperhatikan perolehan keuntungan, sehingga baik bagi bank dan juga nasabah.

 

Kata kunci: Pembiayaan syariah, Konsep Syariah, Perbankkan syariah.

 

PENDAHULUAN

Dalam sebuah Negara,perbankkan adalah salah satu pusat pembangunan dalam sektor ekonomi (agent of development), dikarenakan perbankkan berfungsi sebagai pengumpul uang dari semua orang atau lembagabaik berupa simpanan maupun berupa pembiayaan yang kemudian didistribusikan kembali kepada lembaga atau perseorangan berupa pembiayaan. Melihat dari fungsi perbankkan tersebut maka bisa dikatakan bahwa bank menjadi salah satu sector yang lazim mengembangkan ekonomi didalam suatu Negara. ( financial intermediary function).[1]

 

Bank syariah relatif baru keberadaannya di Indonesia, namun perkembangannya darti tahun ke tahun sangat signifikan dan memberikan sumbangan pemasaran yang besar kepada perbankan Indonesia. Hal ini tentunya harus selalu dikembangkan ditambah lagi jika mayoritas dari rakyat Indonesia adalah mayoritas muslim sehingga memiliki potensi untuk terus meningkatkan pemasaran.[2]

 

Dalam perkembangan perbankkan di Indonesia tentu mempunyai beberapa faktor yang menjadi pendorong dalam hal mendukung perkembangan dunia perbankkan di Indonesia, adapun salah satu faktor pendorong berkembanganya perbankkan syariah di Indoensia menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia bapak Halim Alasmsyah, beliau menatakan bahwa pendorong perkembangan perbankkan di Indonesia yaitu adanya produk Undang-undang yang akan memberikan perlindungan hukum dalam mengembangkan seluruh kegiatan pasar uang syariah seperti Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankkan syariah, Undang-undang Nomor 19 tahun 2008 tentang SBSN atau Sukuk, dan juga Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 tentang amandemen ketiha Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang PPN barang dan jasa. Dengan lahirnya Undang-undang tentang perbankkan syariah tersebut maka lebih meningkatkan perekonomian islam dalam waktu kurang 2 tahun yaitu tahun 2009 dan 2010.[3]

 

Selama ditetapkan adanya bank konvensional di Indonesia, dirasa tidak memberikan kontribusi yang baik untuk perekonomian rakyat. Hal ini bisa kita perhatikan ketika Indonesia sedang dilanda krisis moneter yang ketika itu proses untuk memulihkan ekonomi di diri Indonesia terlalu lama. Hal ini diakibatkan oleh belum bergeraknya sektor-sektor kecil yang didapatkan dari kredit murah seperti yang diterapkan oleh bank-bank syari’ah. Maka merujuk hal tersebut, nampaklah jika keberaadaan bank syari’ah sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, bahkan juga untuk dunia.[4]

 

Bank syari’ah didirikan untuk mengatasi persoalan penting yang merugikan banyak orang, yaitu persoalan bunga. Bagi umat muslim tentunya bunga merupakan hal yang melanggar syari’at karena jatuh kepada hal riba. Maka dari itu salah satu tugas dari bank syari’ah untuk menghilangkan kekhawatiran masyarakat oleh bank konvensional selama ini yang ada di Indonesia yang mayoritas muslim, karena hal ini masuk kepada kategori haram. Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam QS. Ali Imran ayat 130 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ ١٣٠

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda118) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

 

Perbankkan syariah di Indonesia termasuk relative baru karena pertumbuhan bank syariah tidak segencar pertumbuhan bank konvensional, tetapi dari segi pertumbuhannya dari tahun ke tahun perbannkan syariah mengaalami penaikkan yang sangat drastis, baik dari segi jumlah maupun dari segi pemasukkannya, sehingga perbankkan syariah cukup berkembang pesat di Indonesia. Melihat hal ini para pembisnis melihat adanya peluang yang sangat besar untuk mengembangkan hartanya dalam prinsip syariah, karna di Indonesia merupakan umat yang mayoritas beragama islam.[5] Dari sinilah penulis akan mengkaji lebih jauh tentang pembiyaan ini di bank syariah lalu penulis akan mengaitkan dengan urgensi masuknya akad wakalah dalam system pembiayaan dan penulis akan membahas juga tentang manajemen resiko yang akan terjadi di perbannkan syariah.

METODE PENELITIAN

 

Penulis menggunakan dalam penelitian ini menggunaka pendekatan yuridis normatif. Yang dikatakan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis adalah pendekatan yang mengacu kepada produk hukum dan peraturan perundangan yang berlaku, selain itu ada metode penelitian dengan pendekatan normative, yang dikatakan dengan pendekatan normativ adalah penelitian yang digunakan terhadapdata sekunder dalam masalah hukum, yang termasuk dalam data sekunder adalah data primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sehingga untuk melakukan analisis data yang akan dipaparkan tersebut maka tidak bisa dilepaskan dari semua beragam penafsiran dalam ilmu hukum. Penulis melakukan spesikasi dalam menganalisis data tersebut, yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah prosedur dalam pemecahan masalah yang akan diteliti dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat menganalisis data-data yang ditemukan. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode studi kepustakaan dan studi documenter. Dari data-data tersebut maka untuk mengambil sebuah kesimpulan dari analisis yang telah penulis kumpulkan kemudian dijabarkan melalui metode penilitian analisis normative kualitatif atau lapangan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Pembiayaan

 

Dalam sistem perbankkan di Indonesia, selain mengenal istilah hutang piutang maka juga sering dikenal dengan istilah pembiayaan atau angsurang, baik itu didalam perbankkan syariah maupun [erbankkan konvensional. Hutang piutang digunakan dalam masyarakat untuk konteks pemberian pinjaman untuk pembiayaan kepada nasabah, seperti jika seseorang telah meminjamkan hartanya kepada orang lain maka itu bisa dikatan orang tersebut telah memberikan hutang piutang kepada orang tersebut. pada dunia perbankkan maka kebanyakan masyarakat tidak menggunakan istilah hutang piutang tetapi mereka menggunakan istilah kredit atau pembiayaan, sehingga dari segi pemaknaannya hutang biasanya dikenal dalam bank konvensional sedangkan pembiayaan dikenal dalam sistem perbankkan syariah.[6]

 

Pembiayaan ialahpenyaluran dana yang dikasihkandari pihak bank kepada orang atau lembaga dalam mengembangkan usaha yang sedang dikembangkan tersebut, baik itu usaha mikro maupun usaha makro. Bak bertindak menyediakan dana tersebut lalu diberikan kepada yang membutuhkan dana dalam bentuk pembiayaan.[7]

 

Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 disana dijelaskan bahwa yang dikatak dengan pembiayaan adalah menyediakan dana dan tagihan yang bisa dipersamakan akan hal itu, tentu berdasarkan kepada persetujuaan antara pihak yang berakad dengan bank, dengan cara pihak tersebut menyerahkan kembali dana yang telah diberikan oleh pihak bank dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[8]Untuk tagihan atau pembiayaan pada bank syariah dilaksanakan denga berdasarkan kepada prinsip-prinsip syariah.[9]

 

Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 dijelaskan pada pasal 1 ayat 12 bahwasanya yang dikatakan dengan prinsip syariah ialah prinsip yang berdasarkan kepada hukum islam dalam kegiatan di perbankkandan juga berdasarkan kepada fatwa yang telah dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang membuat fatwa tersebut. selain dari prinsip syariah tersebut, perbankkan dan juag lembaga keuangan syariah juga harus berasaskan kepada asas demokrasi ekonomi dan juga berasaskan kepada prinsip kehati-hatian dalam menjalankan peran sebagai lembaga yang mengatur dalam pengelolaan dan pendistribusian dana.[10]Berdasarkan pengertian pembiayaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendistribusian dana yang dikumpulkan oleh perbankkan dan juga lembaga keunagan syariah lainnya harus dilaksanakan berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan syariah.

 

Istilah pembiayaan pada intinya berarti saya percaya, saya menaruh kepercayaan. Kata pembiayaan dalam kontek diatas yaitu menaruh kepercayaan baik dari pihak perbankkan maupun nasabah dengan cara melaksanakan sistem amanah dalam bentuk pembiaayaan, dimana perbankkan menyediakan pembiayaan berupa dana untuk nasabah dan nasabah mengansur atau melunasi dana yang telah diberikan oleh pihak perbankkan tersebut.[11]

 

Jenis-Jenis Pembiayaan

 

Perbankkan merupakan salah satu lembaga keuangan yang bertugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana dari masyarakat untuk masyarakat, badan usaha swasta maupun badan usaha milik Negara. Selain itu perbankkan juga menjadi tempat untuk masyarakat maupun bada usaha untuk menyimpan dana yang dimlikinya, serta perbankkan juga melayani kebutuhan masyarakat dalam segi pembiayaan dan untuk meningkatkan mekanisme sistem perekonomian yang ada di Indonesia.[12]

 

Didalam perbankkan ada beberapa jenis pembiayaan yang dapat dikelompokkan berdasarkan aspeknya, yaitu:

1.      Pembiayaan menurut tujuanya dalam perbankkan syariah dibedakan menjadi beberapa ketentuan, diantaranya adalah:

a.       Pembiayaan modal kerja dalam rangka untuk mengembangkan usaha yang sedang dilakukan.

b.      Pembiayaan investasi untuk melakukan investasi untuk pengadaan barang-barang konsumtif

2.      Pembiayaan menurut jangka waktu dibedakan kepada beberapa kelompok, diantaranya adalah:

a.       Pembiayaan jangka waktu relative pendek yang dilakukan dalam waktu yang singkat, jaraknya antara 1 bulan sampai dengan 1 tahun.

b.      Pembiayaan jangka waktu menengah yang dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sampai dengan 5 tahun

c.       Pembiayaan jangka waktu panjang. Pembiayaan ini membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun dengan modal yang sangat besar.[13]

Selain dari jenis-jenis pembiayaan diatas, pembiayaan pada perbankkan syariah juga dapat diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan juga aktiva non produktif, adapun jenis pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Pembaiayaan dalam bentuk aktiva yang produktif, yaitu:

a.       Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dalam pembiayaan ini ada beberapa bentuk pembiayaan yaitu: pertama, pembiayaan dengan akad mudharabah yang mana akad mudharabah merupakan akad antara dua orang atau lebig, satu sebagai shahibul maal dan satu lagi sebagai mudharib melakukan akad untuk menjalankan sebuah usaha, dimana seseorang memberikan modal berupa uang dan yang satu lagi menyediakan tenaga untuk bekerja dan mengolah dana tersebut dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan.[14] Kedua adalahpembiayaan dengan akad musyarakah, yang mana akad musyarakah adalah akad antara dua orang atau lebih dimana orang yang ber akad sama-sama mengeluarkan modal dan sama-sama bekerja dan hasil keuntungannya di bagi sesuai dengan kesepakatan.[15]

b.      Pembiayaan dengan prinsip jual beli. Prinsip jual belidilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahankepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkatkeuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagianatas barang yang dijual.

c.       Pembiayaan dengan prinsip sewa dalam akad ijrah atau sewa menyewa yang dilandasi dengan pemindahan manfaat.

2.      Pembiayaan dalam bentuk aktiva non produktif yaitu berkaitan dengan aktiva pembayaran yang berbentuk pinjaman, yaitu pinjaman qard atau hutang piutang. Pembiayaan dalam non aktiva ini adalah penyediaan dana atau tagihan antara bank islam dengan peminjam yang mengharuskan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran sekaligus atau secara angsuran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[16]

 

Pembiayaan Murabahah Dalam Akad Wakalah

 

Dalam sitem perbankkan, istilah pembiayaan selalu berkaitan dengan pembiayaan murabahah yang dijelaskan dalamUndang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa  murabahah tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) huruf d yang mana didalam pasal tersebut dijelaskan bahwa akad murabahah merupakan akad pembiayaan pada suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada mustyari dan membayarkannya dengan harga yang lebih dari harga yang dibelinya untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.[17]

 

Pembiayan pada perbannkan syariah dibedakan menjadi dua jenis yaitu: satu. pembiayaan murabahah tanpa pesanan, yaitu jual beli yang dilakukan bai ada musytari atau tidak ada pembeli yang memesan barang tersebut. Maka sebagai lembaga perbankkan, bank bertanggung jawab menyediakan barang tersebut untuk nasabah. Yang kedua pembiayaan murabahah berdasarkan pesanan, yaitu seseorang nasabah memesan barang tersebut kepada perbankkan lalu perbankkan membelikan barang tersebut untuk nasabah, lalu setelah barang itu ada maka nasabah akan membeli barang tersebut kepada perbankkan, mereka melakukan negosiasi den melakukan kesepakatan atas barang yang akan di jual belikan. Dalam jual beli pesanan atau tidak pesanan nasabah boleh melakukan pembayarannya lewat cash atau credit tentu dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Nah pada produk perbankkan pembiayaan yang paling sering digunakan adalah pembiayaan murabahah dengan melakukan pembayaran secara kredit atau tagihan dalam rentang waktu yang telah disepakati.[18]

 

Perbankkan syariah menyediakan pembiayaan murabahah yang mana pembiayaan murabahah dalam perbankkan syariah dapat dilakukan melalui angsuran atau cicilan dengan jangka waktu yang telah disepakati. Dalam hal ini penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam melaksanakan akad murabahah dalam perbankkan syariah, maka seorang nasabah datang kepada perbankkan lalu meminta perbankkan untuk membiayai baik itu dalam pembelian maupun untuk memperbaiki rumah yang sudah rusak yang pembayarannya dilakukan dengan cara mengansur kepada pihak perbankkan dalam waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini seorang nasabah tadi memerlukan dana untuk membeli rumah atau membutuhkan dana untuk memperbaiki rumah tersebut. Maka dalam ini hal ini pihak perbankkan menjual rumah atau bahan yang dibutuhkan kepada nasabah tadi yang berupa barang dengan menambahkan harga pada barang tersebut untuk mendapatkan keuntungan.[19]

 

Perkembangan sistem perbankkan selalu diikuti dengan perubahan pada sistem produk pembiayaan murbahah dan juga pada prakteknya. Pada produk pembiayaan murabahah hari ini tidak hanya mengunakan akad murabahah didalamnya tetapi juga menyertakan akad wakalah. Kombinasi antara akad murabahah dan akad wakalah yang dilakukan oleh pihak bank syariah menunjukkan adannya kejanggalan dalam akad pembiayaan tersebut. Menurut Fatwa DSN-MUI No 10 tahun 2000 tentang wakalah, disana dijelaskan bahwa wakalah adalah pemberian  wewenang dan kuasa oleh penjual kepada nasabahuntuk membeli barang yang diinginkannya sedangan perbankkan Cuma memberikaan uang kepada nasabah tersebut.[20]penjual (musytari) seringkali tidak mempunyai barang yang diinginkan oleh pembeli dan juga penjual juga tidak memesan barang kebutuhan pembeli ke tokoh atau supplier, penjual justru melimpahkan wewenang dia untuk membeli kebutuhannya kepada pembeli yang mengunakan akad wakalah didalamnya. Dalam hal ini perbankkan cuma menyediakan uang untuk membeli barang kemudian nasabahlah yang akan pergi ke took atau supplier tersebut untuk membeli barang sesuai dengan kebutuhan yang dia butuhkan.

 

Ulyana Masykurin mengatakan bahwa ulama fiqih muamalah sepakat mengatakan bahwa dalam pembiayaan yang dilakukan oleh pihak perbankkan kepada nasabah kurang tepat menggunakan akad wakalah didalamnya, karena dalam pembiayaan akad wakalah kurang tepat diaplikasikan dalam akad murabahah, karena para ulama tersebut memberikan alasan, kalau akad wakalah disertakan dalam akad pembiayaan murabahah maka akan menghilangkan fungsi dari murabahah tersebut yaitu sebagai penyedia barang kepada nasabah yang membutuhkan, hal ini dilakukan yaitu dengan memesankan barang kepada supplier yang dibutuhkan oleh nasalah, kemudaia barang tersebut dijual kembali kepada nasabah dengan margin keuntungan sesuai dengan kesepakatan.[21]

 

Selain pendapat ulayana diatas Dimyauddin Djuwaini juga mengkritisin akad wakalah yang ada di akad pembiayaan murabahah, beliau mengatakan bahwa akad murabahah pada perbankkan tidak bertindak sebagai pemberi pinjaman, dengan kata lain bak tidak memberikan pinjaman uang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibuthkan, akan tetapi disini perbankkan memliki kewajiban untuk menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dari pihak supplier dan kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan harga jual yang dtambah untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan.[22]

 

Praktek murabahah seperti itu tentunyaakan menimbulkan keraguan dalam mengenal status kepemilikan terhadap barang oleh pilihan perbankkan, Apabila pihak perbankkan terus mengggunakan akad wakalah dalam transaksi akad murabahah maka penjual dianggap tidak memilki barang yang dibelinya tersebut dalam hal itu penjual memberikan penyimpangan akan kewajibannya yaitu untuk menyediakan barang tersebut untuk nasabah. Pernyataan tersebut justru menyimpang dari konsep pembiayaan murabahah yang sesungguhnya, dimana pihak perbankkan mempunyai kewajiban untuk menyediakan barang tersebut untuk nasabah.Pada dasarnya dalam akad pembiayaan murabahah harus mempunyai kejelasan dari status barang kepemilikaan dan itu sangat penting karena pada dasarnya akad murabahah itu sama dengan akad jual beli, dimana ada penjual yang menyediakan barang dan juga ada pembeli untuk membeli atau memesan barang tersebut, jadi dalam konsep ini hak kepemilikan harus jelas dan transparan, perbankkan  yang menyediakan barang tersebutharus menyerahkan kepada pihak nasabah dalam bentuk barang bukan uang. Kalau masih menggunakan akad wakalah dalam sistem pembiayaan murabahah maka akan menghilangkan subtansi dari akad murabahah tersebut.[23] oleh sebab itu penulis melalui artikel ini mengatakan bahwa akad murabahah atau pembiayaan murabahah pada sistem perbankkan syariah tidak boleh menyandingkan atau menggabungkannya dengan akad wakalah, karan itu akan menghilangkan konsep akad murabahah itu sendiri dan lepemilikannya nanti tidak jelas.

 

Manajemen Resiko Pada Lembaga Keuangan Syariah

 

Dalam suatu pembiayaan, manajemen resiko merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak perbankan untuk melakukan kegiatan memberikan fasilitas baik itu menyalurkan dana maupun mengumpulkan dana masyarakat. Dalam memanajemen resiko tersebut perbankkan akan memberikan fasilitas kepada masyarakat atau nasabah yang mengalami kendala dalam pembayaran atau mengalami kesulitan dalam membayar kewajibannya kepada pihak perbankkan, dengan kata lain nasabah masih mampu melunasi kewajibannya terhadap perbankkan tetapi mengalami kendala maka pihak perbankkan akan memberikan Fasilitas berupa peringanan atau penangguhan kepada nasabah supaya nasabah bisa melunasi kewajibannya terhadap bank.[24]

 

Adapun penyebab utama terajdinya resiko tersebut terhadap pembiayaan dikarenakan bank sangat mudah dalam melakukan kegiatan investasi dan pinjaman kepada nasabah.Karena perbankkan selalu menuntut untuk memnafaatkan kelebihan atau keuntungan dari pinjaman nasabah, sehingga pinjaman tersebut kurang cermat sehingga sulit untuk mengatisipasi berbagai kemungkinan resiko terhadap pinjaman yang diberikan.[25]

 

Dalam mengatasi resiko tersebut bank dapat melakukan upaya untuk memanajemen resiko tersebut, diantaranya adalah:

1.      Penjadwalan kembali (rescheduling).

Rescheduling yaitu perubahan tanggal pembayaran kewajiban nasabah dan atau jangka waktu (tenor) pembayaran. Khusus rescheduling nasabah pembiayaan dengan akad murobahah, menurut ketentuan Fatwa DSN MUI No. 48 tahun 2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murobahah, dijelaskan bahwa bank syariah atau lembaga keuangan syariah boleh melakukan rescheduling hutang terhadap nasabah yang tidak bisa melakukan pelunasan atau nasabah tidak bisa melakukan penyelesaian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dengan catatan:

a.       Jumlah hutang yang tinggal tidak ditambah

b.       Pembebanan biaya dalamrescheduling adalah biaya riil

c.       Perpanjangan waktu pembayaran harus disepakati oleh kedua belah pihak yang berakad.[26]

2.      Persyaratan kembali (reconditioning).

Reconditioning yaitu usaha yang dilakukan dengan cara mengganti akad dalam pembiayaan murabahahyang tidak dibatasi oleh berubahnya jadwal pembayaran, begitu juga denganjangka waktu dan jumlah angsuran, perihalgrace period pokok/margin, pemberian potongan (diskon) margin, sepanjang tidak menyangkut penambahan maksimum plafon pembiayaan. Penerapan reconditioning untuk nasabah dengan akad murobahah mengacu kepada Fatwa DSN_MUI No 49 Tahun 2006 tentang Konverssi akad Murobahah, bank syariah atau lembaga keuangan syariah boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak mampu menyelesaikan atau melunasi pembiayaan murobahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi masih memiliki prospektif.[27]

3.      Penataan kembali (restructuring).

Restructuring yaitu melakukan penataan kembali terhadap semua persyaratan pembiayaan dalam penambahan fasilitas pembiayaan, seluruh tunggakan angsuran atau sebagian dari tunggakan angsuran menjadi pokok angsuran baru yang disertai denganrescheduling, pemberian potongan atau diskon margin dan atau reconditioning.

 

Tindakan restrukturisasi pembiayaan tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa penilaian terhadap nasabah yang bersangkutan. Restrukturisasi pembiayaan dilakukan atas dasar penilaian secara tertulis dan obyektif terhadap kondisi nasabah. Penilaian kondisi nasabah dituangkan dalam kertas kerja call report yang meliputi analisis mengenai komitmen dan kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajiban kepada bank. Komitmen dan kemampuan nasabah bisa tercermin dari karakter, prospek usaha dan kondisi keuangan dengan penekanan pada proyeksi arus kas (cash flow).[28]

 

Penjelasan diatas dapat menggambarkan bahwa ada beberapa cara untuk melakukan manajemen resiko yang ada pada lembaga keuangan syariah, mulai dari penjadwalan kembali, persyaratan kembali atau membuat akad yang baru dan yang terakhir melakukan penataan kembali antara pihak nasabah dengan pihak bank. Setelah cara itu dilakukan semua tetapi dalam pembiayaan nasabah masih belum bisa melunasi pembiayaan maka ada cara lain, diantaranya melelang atau menjual barang jaminan atau menyelesaikan dengan jalur ligitasi atau nono ligitasi sesai dengan aturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. “Kapita Selekta Perbankan Syari’ah Di Indonesia,” 3. Yogyakarta: UII Press, 2008.

Adiwarman A. Karim. “Bank Islam,” 106. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Ammirudin K. “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Al Risalah.” Al-Risalah, 2011, 11.

Burhanuddin H. “Kedudukan Fungsi Dan Problematika Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah.” Yusticia, no. No. 69 (2006).

Djuwaini D. “Pengantar Fiqh Muamalah,” 23. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

“Fatwa DSN MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, 2014.,” n.d.

“Fatwa DSN MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional, 2014.,” n.d.

“Fatwa DSN-MUI 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah,” 2000.

Halim Alamsyah. “Perkembangan Dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA,” 2015.

Ismail. “Perbankan Syariah,” 105–6. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011.

Karnaen Perwaatmadja. “Apa Dan Bagaimana Bank Islam,” 23. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992.

Kasmir. “Manajemen Perbankan,” 73. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, n.d.

Khan, dkk. “Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry.” Jeddah : Islamic Development Bank (IRTI) No. 5, no. Occasional Paper (2001): 3.

Masykurin U. “Masykurin, U. (2012). Murabahah: Antara Teori Dan Praktik.” Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, n.d.

Muhammad. “Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,” 17. Yogyakarta: UPP AMP YPKN, 2005.

Nezammudin. “Risk Management And Challange In Islamic Banking” Dalam Journal Of Islamic Economic, Banking And Finance.,” 2014.

Nurnasrina, dkk. “Manajemen Pembiayan Bank Syariah. Pekanbaru.,” 173–74. Pekanbaru: Cahaya Firdaus Publishing and Printing, 2018.

Rahadi Kristiyanto. “Jurnal Law Reform” Vol. 5, no. No. 1 (April 2010).

Rahmat Ilyas. “Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan SYari’ah.” Jurnal Penelitian Vol. 9, no. No. 1 (February 2015): 3.

“Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Tentang Pembiayaan,” n.d.

“UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,” n.d.

Veithzal Rivai. “Islamic Financial Management,” 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Yuniarlin, dkk. “Yuniarlin Hukum Jaminan Dalam Praktek Perbankan Syariah. Yogyakarta: LAB FH UMY.” Yogyakarta: LAB FH UMY, n.d.

Zainul Arifin. “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah,” 19. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

 



[1]Abdul Ghofur Anshori, “Kapita Selekta Perbankan Syariah Di Indonesia” (Yogyakarta: UII Press, 2008), 3.

[2]Rahadi Kristiyanto, “Jurnal Law Reform” Vol. 5, no. No. 1 (April 2010).

[3]Halim Alamsyah, “Perkembangan Dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA,” 2015.

[4]Ammirudin K., “Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Al Risalah,” Al-Risalah, 2011, 11.

[5]Rahadi Kristiyanto, “Jurnal Law Reform.”

[6]Kasmir, “Manajemen Perbankan” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, n.d.), 73.

[7]Muhammad, “Manajemen Pembiayaan Bank Syariah” (Yogyakarta: UPP AMP YPKN, 2005), 17.

[8]“Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Tentang Pembiayaan,” n.d.

[9]Ismail, “Perbankan Syariah” (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), 105–6.

[10]“UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,” n.d.

[11]Veithzal Rivai, “Islamic Financial Management” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 3.

[12]Abdul Ghofur Anshori, “Kapita Selekta Perbankan Syari’ah Di Indonesia.”, 5

[13]Veithzal Rivai, “Islamic Financial Management.”, 686

[14]Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah” (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), 19.

[15]Karnaen Perwaatmadja, “Apa Dan Bagaimana Bank Islam” (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992), 23.

[16]Adiwarman A. Karim, “Bank Islam” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 106.

[17]Burhanuddin H., “Kedudukan Fungsi Dan Problematika Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah,” Yusticia, no. No. 69 (2006).

[18]Yuniarlin, dkk, “Yuniarlin Hukum Jaminan Dalam Praktek Perbankan Syariah. Yogyakarta: LAB FH UMY” (Yogyakarta: LAB FH UMY, n.d.).

[19]Rahmat Ilyas, “Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan SYari’ah,” Jurnal Penelitian Vol. 9, no. No. 1 (February 2015): 3.

[20]“Fatwa DSN-MUI 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah,” 2000.

[21]Masykurin U., “Masykurin, U. (2012). Murabahah: Antara Teori Dan Praktik” (Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, n.d.).

[22]Djuwaini D., “Pengantar Fiqh Muamalah” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 23.

[23]Nezammudin, “Risk Management And Challange In Islamic Banking” Dalam Journal Of Islamic Economic, Banking And Finance.,” 2014.

[24]Khan, dkk, “Risk Management: An Analysis of Issues in Islamic Financial Industry,” Jeddah : Islamic Development Bank (IRTI) No. 5, no. Occasional Paper (2001): 3.

[25]Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah.”, 263

[26]“Fatwa DSN MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, 2014.,” n.d.

[27]“Fatwa DSN MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murobahah, Lihat Dalam Dewan Syariah Nasional, 2014.,” n.d.

[28]Nurnasrina, dkk, “Manajemen Pembiayan Bank Syariah. Pekanbaru.” (Pekanbaru: Cahaya Firdaus Publishing and Printing, 2018), 173–74.


No comments:

Post a Comment

Koran Wawasan Edisi 194, Februari 2023

"Prakiraan Cuaca Jumat 11 Oktober 2024"


"KEPUASAN ANDA UTAMA KAMI"




BOFET HARAPAN PERI Jl. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
Selamat Datang diSemoga Anda Puas